Rabu, 07 April 2010

Berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim

Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan.

Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium.

Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya.

Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim !

Orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramah an dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.

Bagaimana bila kondisinya darurat ?

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.


Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilaku kan! Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Sekarang kita bertanya sendiri apakah ber- jabatan tangan antara muslim-muslimah yang bukan muhrim termasuk darurat ? Sudah tentu tidak !

Sebelum kami mengutip dan mengumpulkan makalah-makalah yang kami anggap penting untuk diketahui yang ditulis oleh para ulama pakar diantara- nya banyak tercantum juga di internet/website mengenai dalil berjabatan tangan antara bukan muhrim ingin memberitahukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya.

Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai  syarat-syarat tertentu,umpamanya:

Pertama: Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnahmeskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan muhrimnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram jika kedua syarat itu tidak terpenuhi!

Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis !

Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang memboleh- kannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya mengamalkan pemboleh- annya saja tetapi mengabaikan syarat-syaratnya !

Ada lagi orang yang mengatakan; yang penting niat kita karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya... Padahal hadits itu tidak berlaku untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas kewajibannya ataupun larangannya, maksudnya ialah bila sudah ada perintah dan larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat kita baik untuk amalan tersebut. Saya akan berikan contoh yang mudah saja: Syari’at Islam memerintahkan kita agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan di akhiri dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah kebaikan maka dia sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak beribadah kepada Allah swt.!! Lain halnya dengan amalan-amalan yang tidak diwajib- kan atau dilarang oleh syari’at Islam (baca bab bid’ah dalam buku ini).

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil atau hukum yang ber- kaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama baik zaman dahulu maupun sekarang tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama pakar ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya.

Tujuan kami untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. Walaupun kita berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.

Pertama-tama kami ingin mengutip dan mengumpulkan dari internet/ website dan dari sumber lainnya dibawah ini dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, kemudian dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat, serta jawaban atau tanggapannya yang cukup baik dan ditulis oleh Abu Salma (kami ringkas dan rapikan yang perlu diutarakan—pengutip). Insya Allah dengan adanya kutipan ini kita bisa menilai sendiri mana yang mendekati kebenaran. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin

Dalil-dalil dari Al-Qur’an:

Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:

Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).

Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidak- lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 32).

Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’”. (QS. An-Nur : 30).

Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’” (QS. An-Nur : 31).

Manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran : 14).


Allah ta’ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ : 32).

Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita mu’minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).

Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta’ala memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20).

***Kalau Allah swt. memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu!*** Renungkanlah !

Dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:

Dari Ma’qil bin Yasar ra. berkata : Rasulallah saw. bersabda: “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan muhrim) baginya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 20/174/386).

 Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya.” (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152)

 Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai’at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘“Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai’at. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba’iat kalian.’ “ [HR Bukhori: 4891]


 Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).

Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12 surat al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut.’ Rasulallah saw. pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’ ‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.


Aisyah ra. berkata:

“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw. tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).

 Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu ‘anha: Bersabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509]

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)

Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)

Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan .

Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan keboleh annya/ kemubahannya.

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:

Madzhab Hanafi :

Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat.

Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.

Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu

ash-Shana`i']

Madzhab Maliki:

Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.

Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.

 Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak

memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].

Madzhab Syafi’i :

 Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.

 Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.

Madzhab Hanbali:

Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”

Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan).

Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

 Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.

Pemikiran di Mesir Awal Abad ke 20

BAB I

PEMBAHASAN

Pembaharuan Pemikiran di Mesir Awal Abad XX

1. Muhammad Ali

Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.

Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801. Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.

Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.

Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.

Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat. Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.

Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.

Pembaharuan yang telah dilakukan oleh Muhammad Ali di antara lain:

A. Pembaharuan Bidang Militer

Salah satu bidang yang menjadi fokus pembaruannya adalah militer. Menurut pendapatnya, melalui kekuatan militer akan dapat mengamankan kekuasaan serta upaya pembangunan. Disadari, mengembangkan kekuatan militer hanya bisa dicapai dengan penguasaan pengetahuanmodern. Terkait masalah tersebut, tahun 1819 dia mengutus seorang kolonel Prancis bernama Save yang kemudian beralih ke agama Islam dengan nama Sulaiman Pasya guna memodernisasi angkatan bersenjata Mesir.

Dibangunlah sekolah militer di Kairo serta Akademi Industri Bahari juga Sekolah Perwira Angkatan Laut di Alesandria. Selain itu, ratusan perwira Mesir dikirimnya ke Eropa untuk menimba ilmu kemiliteran.

B. Pembaharuan Bidang Ekonomi

Pembaruan pada bidang perekonomian juga menjadi perhatian serius. Beragam kegiatan dilaksanakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejumlah irigasi dibangun, impor kapasdari India dan Sudan, dan juga mendatangkan tenaga ahli pertanian dari Eropa. Modernisasi bidang angkutan umum dan industri menjadi fokus utama awal pemerintahan Muhammad Ali.

C. Pembaharuan Bidang Pendidikan

Pendidikan serta ilmu pengetahuan adalah pula unsur penting gerakan pembaruan Muhammad Ali di Mesir. Demi tujuan itu, dibentuklah kementerian pendidikan dan sejumlah lembaga pendidikan. Antara lain Sekolah Teknik (1816), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), dan Sekolah Penerjemahan (1836).
Sekolah-sekolah tersebut telah menerapkan sistem pengajaran modern yang antara lain diadopsi dari Eropa. Demikian pula tenaga pengajarnya, selain dari Mesir sendiri, juga guru dari Eropa didatangkan. Antara tahun 1813-1849, sejumlah pelajar Mesir dikirim ke Italia, Prancis, Inggris, dan Austria.
Untuk mendukung percepatan pembangunan dan pembaruan Mesir, penerjemahan buku-buku berbahasa asing terutama dari Eropa terus dilakukan, seperti ilmu fisika, sastra, kedokteran dan lain-lain. Hasilnya pun cukup menggembirakan dan membawa pengaruh besar bagi rakyat Mesir. Mereka lebih mengenal dunia luar serta mengetahui perkembangan dunia Islam pada umumnya.

2. At-Thahthawi

Nama lengkapnya adalah Rifa’ah badhawi Rafi’ al-Thahthawi terkenal dengan sebutan Al-Thahthawi. Lahir di Tanta pada tahun 1801 H. Berasal dari keluarga miskin,sehingga keluarga Al-Thahthawi pergi ke Mesir untuk mencari penghidupan dalam bidang pertanian. Pada usia remaja al-Thahthawi hafal al-Quran dan telah mempelajaridasar-dasar hukum Islam. Pada usia 16 tahun, al-Thahthawi pergi ke Kairo untuk belajar di Universitas al-Azhar. Keadaan ekonomi yang tidak mendukung menjadikan al-Thahthawi bekerja sambilan sepulang kuliah yaitu menjadi guru privat, gaji sebagai guru privat ternyata tidak mencukupi untuk biaya kuliah. Keadaan ini memaksa ibunya menjual perhiasan untuk menambah kekuarangan biaya kuliah at-Thahthawi. Meskipun dengan susah payah at-Thahthawi akhirnya at-Thahthawi menyelesaikan pendidikan di al-azhar selama delapan tahun.

Al-Thahthawi meninggal pada hari Selasa, 27 Mei 1873 M, umurnya pada waktu itu 73 Tahun. Ribuan masyarakat mesir mengiringi jenazahnya.

Kutipan di atas memberi pelajaran bahwa kemiskinan dan kesusahan tidak membuat at-Thahthawi putus asa dalam perjuangan hidup. Meskipun serba kekurangan tetapi pendidikan tidak dilupakan. Semangat seperti ini memberi inspirasi bagi generasi sesudah al-Thahthawi untuk meniru, meneladani, atau setidaknya tidak menyerah dalam hidup walaupun dalam keadaan miskin yang mendera. Tidak itu saja, meskipun dalam kubangan kemiskinan al-Thahthawai pantanag mundur, pendidikan masih merupakan sesuatu yang harus diperjuangankan apapun kondisinya.

Pada umur 24 tahun al-Thahthawi menjadi pegawai Bina Mental dan Imam padasebuah kelompok pasukan negara Mesir yang dibangun oleh Muhammad Ali, penguasa Mesir. Pada 25 tahun al-Thahthawi dicalonkan pemerintah untuk bergabung dalam delelgasi mahasiswa Mesir ke Perancis. Pengiriman mahasiswa Mesir Ke Perancis ini adalah gelombang pertama.

Al-Thahthawi dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk kepentingan pemerintah, termasuk juga untuk kemajuan bangsa Mesir secara umum. Meskipun dimanfaatkan tetapi al-Thahthawi tidak merasa dimanfaatkan, bahkan dengan keadaan tersebut al-Thahthawi mengambil hikmah dan pelajaran dari keadaan tersebut. Digunakan kesempatan itu untuk menempa diri dengan berbagai pengalaman dan ilmu pengetahuan, bukan saja untuk dirinya, tetapi juga untuk bangsa Mesir.

Hal ini dapat diketahui dengan semangat al-Tahahthawi untuk terus menempa diri, menjadi pribadi pemberontak terhadap kenyataan bangsa Mesir. Suatu saat al-Thahthawi berkata,”Kondisi negeri kita harus berubah, dan ilmu pengetahuan yang tidak kita punyai harus segera kita miliki.”

Tekad yang besar untuk membangun bangsanya menjadikan al-Thahthawi pemuda yang berbeda dengan pemuda mesir yang sebaya dengannya. Meskipun ke Perancis hanya sebagai imam tetapi al-Thahthawi tidak hanya sebagai imam salat bagi para mahasiswa, tetapi dengan kemamuan besar untuk maju al-Thahthawi melakukan hal-hal diluar tugasnya.al-Thahthawi bertekad mempelajari ilmu-ilmu bangsa perancis. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari guru privat bahasa Perancis yang ia gaji sendiri. Selama tiga tahun ia rela memotong gajinya sebesar 250 Piaster untuk guru privatnya.

Setelah lima tahun di Perancis al-Thahthwi kembali ke mesir sekitar akhir tahun 1831. Ia diangkat sebagai penerjemah dan guru Bahas Perancis di Institut Kedokteran Abu za’bal dengan gaji 1.2223 Piaster. Kepalasekolah, pimpinan penterjemah Undang-Undang perancis.

Dengan latar belakang pendidikannya, baik ketika di al Azhar, dengan gurunya Syekh Hasan al-Attar, pengalaman intelektualnya di perancis, buku-buku yang dibaca dan diterjemahkannya menjadikanal-Thahthwai sosok yang mumpuni dalam bidang pendidikan.

Pemikiran at-Thahthawi Tentang Pendidikan

Al-Thahthawi mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk karakter kepribadian, kecerdasan, dan menanamkan rasa patriotisme/Hubb al-wathan. Kutipan tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan tidak sekedar membentuk siswa yang cerdas secara inteketual tetapi juga cerdas dari segi emosi dan spiritual, hal ini dapatdicermati dan dipahami dari tujuan pendidikan di atas yang tidak sekedar membentuk siswa yang cerdas, tetapi juga membentuk siswa yang matang emosi dan akhlaknya. Di sisi lain, tujuan pendidikan hendaknya tidak sekedar membentuk siswa pandai, tetapi juga membentuk siswa yang mempunyai jiwa-jiwa patriotisme, sebab tidak ada manfaatnyamempunyai siswa yang cerdas tetapi tidak mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa patriotisme terhadap negaranya sendiri. Pendidikan hendaknya tidak membentuk siswa cerdsa, tetapi berjiwa penghianat terhadap negara dan bangsa sendiri. Penulis sepakat dengan al-Thahthawi terutama dalam tujuan pendidikan. Pendidikan yag tidak ada tujuan membentuk rasa patriotisme hanya akan mempersiapkan generasi-generasi penghancur negara, generasi yang memanfaatkan bangsa dan negara untuk kepentingan sendiri.

Dalam bidang kurikulum al-Thahthawi membaginya berdasarkan jenjang pendidikan. Untuk tingkat pendidikan dasar (SD) terdiri atas: pelajaran membaca dan menulis yang bersumber dari al-Quran, ilmu nahwu, dan dasar-dasar berhitung. Sedangkan untuk tingkat sekolah menengah (SMP), terdiri atas, pendidikan jasmani beserta cabangnya, ilmu bumi, sejarah, biologi, mantiq, fisiska, kimia, manajemen, ilmu pertanian, mengarang, peradaban, bahasa asing. Untuk kurikulum tingkat atas (SMA) terdiri atas mata pelajaran kejuruan. Di antara mata pelajaran tersebut adalah kedokteran, fiqih, ilmu bumi dan sejarah.

Dari kurikulum diatas, tersirat bahwa al-Thahthawi sudah memikirkan tentang pentingnya skill bagi siswa/anak didik, sehingga ia memuat materi pelajaran kejuruan. Di sisi lain, terlihat jelasbahwa al-Thahthawi memperhataikan kebutuhan pada masa itu, kebutuhan bangsa Mesir yang masih jauh tertinggal dengan bangsa lain, sehingga perlu membuat kurikulum yang menghasilkan peserta didik yang dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi masyarakat pada saat itu. Dalam hal ini dapat di duga bahwa sebenarnya al-Thahthawi sudah mempunyai ilmu tentang pengembangan kurikulum. Yang di antaranya dalam mengembangkan kurikulum adalah memperhatikan kebutuhan masyarakat di sekitar tempat institusi pendidikan berada. Dari kurikulum di atas dapat diketahui bahwa secaratidak langsung al-Thahthawi telah membuat semacam struktur/jenjang pendidikan, yaitu pendidikan awal / SD, pendidikan menengah /SMP, kemudian pendidikan tingkat atas / SMA. Tetapi ada yang mungkin terlupa oleh al-Thahthawi yaitu pendidikan untuk anakusia dini, sepertinya hal ini terabaikan, padahal pendidikan usia dini mempunyai peran penting dalam rangka mempersiapkan anak didik menuju jenjang pendidikan lanjutan, atau setidaknya sebagai wahana untuk bersosialisasi bagi anak didik usi dini.

Sedangkan dari pola pendidikan, al-Thahthawi menawarkan pola pendidikan sebagai berikut: pendidikan yang bersifat universal. Yaitu pendidikan yang di tujukan kepada semua golongan masyarakat tanpa membedakan gender dan umur. Pendidikan yang ditujukan untuk memajukan perempuan agar mampu menggali dan memfungsikan perannya secara maksimal, apakah sebgai istri, sebagai ibubagi anak-anak, atau sebagai bagian dari masyarakat,dengan tidak melupakan kodratnya sebgai perempuan. Ketiga, pendidikan yang ditujukan untuk kepentingan bangsa. Pola pendidikan hendaknya harus membentuka anak didik yang mempunyai rasa memiliki terhadap negaranya, rasa bangga terhadap negaranya, pendidikan hendaknya di arahkan untuk membentuk peserta didik yang mau berkorban untuk bangsa dan negaranya.

Karya Ilmiah al-Thahthawi

Sebagai ilmuan al-Thahthawi mempunyai kebiasaan membaca dan menulis, di antara buku yang telah ditulisnya adalah:

1. Takhlis al Ibriz fi AkhbarBariz, buku ini menjelaskan tentang kehidupan bangsa Perancis,terutama Paris, tentang adat sitiadat,budaya, kebiasaan ilmiah, politik, demokrasi, yang inti dari tujuan penulisan buku tersebut adalah agar bangsa Mesir sadarakan ketertinggalan, sebagi perbandingan dalam segala hal, dengan harapan setelah membaca buku ini bangsa Mesir berubah paradigma.

2. Manahij al-Albabal-Misriyyat fi manahij al-Adab al-Ashriyyat,buku ini membahas tentang pembaharuan bidang ekonomi, dengan buku ini al-Thahthawiberharap bangsa Mesir termotivasi untuk mengwembangkan perekonomian berdasarkan peran dan fungsi agama.

3. al-Qoul al-Sadiq fi al-Ijtihada wa al taqlid dan Anwar al-Taufiq al-Jalil fi Akhbar Mishr wa Tautsiq Bani Ismail,kedua buku ini memuat tentang pentingnya ijtihad bagi bangsaMesir demi kemajuan bangsa mesir, hukum-hukum islam harus diinterpretasi ulang/ baru agar sesuai dengan kehidupan modern. Buku ini juga bersisi anjuran bagi para ulama agar menyadari dan mengetahui kehidupan modern, sehingga masyarakat Islam menjadi dinamis dan membuka diri dengan dunia luar, dengan batas-batas syariat/ hukum Islam.

4. al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa Banin,buku ini membahas tentang pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan agar nantinya diharapakan keduanya nanti mampu membina keluarga yang harmonis. Buku ini juga membahas pentingnya pendidikan bagi perempuan, agarperempuan mampu mengimbangi ilmu pengetahuan, pola pikir kaum laki-laki, intinya agar perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki.

5. Manahij al al-Albabal-Mishriyyah fi Mabahij al-Adab al-Mishriyyah,buku ini membahas metode pendidikan untuk kemajuan bangsa Mesir, dalam buku ini berisi tentang anjuran kepada organisasi kemasyarakatan, masyarakat Mesir dan pemerintah mengerahkan harta dan modal hidupnya untuk kemaslahatan bangsa Mesir dan di titik beratkan dalam bidang pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

  • Apa yang telah dilaksanakan Muhammad Ali Pasya ketika memimpin Mesir, telah mampu mewujudkan Mesir menjadi sebuah negara modern. Hingga kini, Mesir masih dipandang sebagai pusat ilmu pengetahuan di kawasan Timur Tengah.
    Keberadaan universitas terkenal Al-Azhar makin memperkokoh kedudukan Mesir dalam bidang ilmu pengetahuan Islam. Ribuan mahasiswadari berbagai negara di dunia, uetiap tahunnya menimba ilmu di sini. Semua itu salah satunya adalah berkat jasa-jasa Muhammad Ali Pasya, yang lantas dijuluki Bapak Pembangunan Mesir Modern.

Sumber

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/sejarah-pemikiran-islam/muhammad-ali-pasya

http://riwayat.wordpress.com/2008/07/11/pemikiran-pendidikan-at-thahthawi/

Faktor-Faktor Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Kitab Ihya' Ulumuddin, buah karya Al Ghazali adalah salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpusatakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Al Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, namun yang menjadi intisari dari seluruh karangan beliau itu ialah kitab Ihya' Ulumuddin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pemikiran Al Ghazali tentang faktor-faktor pendidikan dalam kitab Ihya' Ulumuddin. Penelitian ini bermanfaat: bagi peneliti akan memberikan pemahaman tentang faktor-faktor pendidikan menurut Al Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin, menambah khazanah keilmuan bagi umat Islam mengenai faktor-faktor pendidikan, menambah khazanah keilmuan di Fakultas Agama Islam.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan, sedangkan metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah dokumentasi. Dalam penelitian ini sumber data dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Data yang telah dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini selanjutnya dianalisis supaya bisa diambil kesimpulan/pengertian. Adapun metode analisis yang penulis gunakan adalah metode analisis kualitatif. Selanjutnya dalam analisis data secara kualitatif ini penulis menggunakan pendekatan cara berfikir induktif. Hasil penelitian tentang faktor-faktor pendidikan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dapat dirumuskan menjadi lima faktor yaitu

1. Faktor tujuan adalah pendidikan dalam prosesnya haruslah mengurai kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya bagi bahagia dunia dan akhirat,

2. Faktor pendidikan, yaitu guru mempunyai kedudukan yang mulia dan sangat penting. Guru juga memiliki syarat dan sifat yang harus dipenuhi antara lain: guru itu orang tua kedua di depan murid, guru sebagai pewaris nabi, guru sebagai penunjuk jalan dan figur pembimbing keagamaan, guru sebagai sentral figur atau teladan bagi murid, guru sebagai motivator dan guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid,

3. Faktor anak didik, yaitu belajar mempunyai peran yang penting dalam kehidupan. Dengan belajar orang jadi pandai, ia akan mengetahui terhadap segala sesuatu yang dipelajarinya. Tanpa belajar, orang tidak akan mengetahui sesuatupun.

4. Faktor alat dan metode adalah meliputi materi pendidikan, metode pendidikan dan alat pendidikan langsung,

5. Faktor lingkungan, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama dan terutama bagi perkembangan anak, bahkan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. Sedangkan lingkungan pergaulan juga mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap perkembangan anak. Sedangkan lingkungan yang berujud kesusastraan yang meliputi buku yang bermanfaat dan buku yang merugikan serta merusak juga mempunyai peran yang besar terhadap pembentukan pribadi anak.

BAB II

PEMBAHASAN

Faktor-faktor Pendidikan Islam

Dalam melaksanakan pendidikan agama, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor pendidikan yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan agama tersebut.

Faktor-Faktor Pendidikan itu ada 5 macam, dimana faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya mempunya hubungan yang erat. Kelima faktor tersebut adalah :

1. Faktor Tujuan

Setiap kegiatan apapun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar, selalu diharapkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Bagaimanapun segala sesuatu atau usaha yang tidak mempunyai tujuantidak akan mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian, tujuan merupakan faktor yang sangat menentukan.[1]

Menurut Dr.Zakiah Daradjat,dkk. Tujuan pendidikan ialah sesuatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Bila Pendidikan itu berbentuk pendidikan formal, tujuan pendidikan itu harus tergambar dalam suatu kurikulum. [2]

Di dalam UU Nomor 2 Tahun 1989, Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu :

“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bernudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

2. Faktor Pendidik

Pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan, dipundaknya terletak tanggung jawab yang besar dalam upaya mengantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan yang dicitakan. Secara umum, pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya melaksanakan proses pendidikan.

Selain mendidik pendidik/guru mempunyai 4 empat tugas, yaitu ;

a. Mengajarkan ilmu pengetahuan agama islam

b. Menanamkan Keilmuan dalam jiwa anak.

c. Mendidik anak agar taat menjalankan agama.

d. mendidik anak agar berbudi pekerti baik

Toto Suharto Mengutip dari pendapat Muraini dan Abdul Majid dalam bukunya mengemukakan tiga fungsi pendidik. Yaitu ;

a. Fungsi Instruksional yang bertugas melaksanakan pengajaran .

b. Fungsi Edukasional yang bertugas mendidik peserta didik agar mencapai tujuan pendidikan.

c. Fungsi Managerial yang bertugas memimpin dan mengelola pendidikan.

3. Faktor Anak Didik

Faktor anak didik adalah merupakan salah satu factor pendidikan yang paling penting karena tanpa adanya factor tersebut, maka pendidikan tidak akan berlangsung. Oleh karena itu factor anak didik tidak dapat digantikan oleh faktor yang lain.

Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan sesuatu yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Di sini peserta didik adalah makhluk Allah yang terdiri dari aspek jasmani dan ruhani yang belum mencapai kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bimbingan arahan pendidik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan membimbingnya menuju kedewasaan.

Peserta didik sebagai subjek pendidikan, menurut Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Jika menginginkan keberhasilan meraih ilmu harus memenuhi enam syarat sebagaimana dalam syair ;

الالاتنال العلم إلا بستة * سأنبيك عن مجموعها ببيان

دكاء وحرص واصطبار وبلغة * وإرشاد أستاذ وطول زمان

Yaitu : 1) Cerdas 4) mempunyai Bekal

2) Bersungguh-sungguh 5) Mengikuti Petunjuk Guru (Ustadz)

3) Sabar 6) Lama Waktunya

4. Faktor Alat Pendidikan

Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan yang tertentu. Alat pendidikan merupakan factor pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.[3]

5. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan sesuatu yang mempenmgaruhi pada pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Adapun pengaruh lingkungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu positif dan negatif, adapun uraiannya sebagai berikut;

a. Pengaruh lingkungan dapat dikatakan positif, bila mana lingkungan itu dapat memberikan dorongan atau motivasi dan rangsangan kepada anak untuk berbuat hal-hal yang baik.

b. Sebaliknya pengaruh lingkungan dapat dikatakan Negatif bila mana keadaan sekitarnya anak itu tidak memberikan pengaruh baik.

Karena itu berhasil atau tidaknya pendidikan agama di sekolah juga banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan daripada anak didik.[4]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor Pendidikan Agama adalah sesuatu yang ikut menentuksn keberhasilan Pendidikan Agama yang memiliki beberapa bagian yang saling mendukung satu sama lainnya. Faktor-faktor Pendidikan Agama selanjutnya juga disebut dengan komponen-komponen pendidikan.

Menurut Toto Suharto dalam bukunya filsafat pendidikan Islam dengan memodifikasi konsepsi noeng muhadjir,… mengungkapkan secara filosofis komponen-komponen pokok pendidikan islam kedalam lima komponen, yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan peserta didik, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, dan konteks pendidikan. Kelima komponen ini adalah merupakan sebuah sistem, artinya kelima komponen itu merupakan satu kesatuan pendidikan yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lainnya, sehingga terbentuk satu kebulatan yang utuh dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1999.

Daradjat,.Zakiah Dr dkk,Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bumi Angkasa, Jakarta, 2001.

Marimba Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1987.

Zuhri Syaifuddin, M.PdI. Media Pendidikan, Materi Kuliah Semester V, STAI Al-Qolam, 2007.



[1] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1999. Hal. 10.

[2] Dr.Zakiah Daradjat,dkk,Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bumi Angkasa, Jakarta, 2001.Hal.72.

[3] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1987 hal. 50.

[4] Syaifuddin Zuhri, M.PdI. Media Pendidikan, Materi Kuliah Semester V, STAI Al-Qolam, 2007.Lembar I