Senin, 23 April 2012

Kompetensi dan Profesionalitas Guru Agama

BAB I PENDAHULUAN 

Berbicara mengenai kompetensi dan profesional guru tidak akan terlepas dari tugas dan peranan guru dalam proses belajar mengajar, karena kompetensi dan professionalisme guru merupakan suatu yang sangat diperlukan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab seseorang sebagai seorang guru. 
Masalah kompetensi dan profesionalisme guru merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apapun. Kompetensi-kompetensi lainnya adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi kemasyarakatan. Secara teoritis ketiga kompetensi itu dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya, tetapi secara praktis ketigannya tidak mungkin dipisah-pisahkan. 
Ketiga kompetensi tersebut saling menjalin secara terpadu dalam diri guru. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki pribadi yang baik dan mampu melakukan sosial adjustment dalam masyarakat. Ketiga kompetensi tersebut terpadu dalam karekteristik tingkah laku guru. Membahas kompetensi dan profesionalis guru adalah suatu hal yang tidak asing lagi. Banyak terjadi disana-sini terjadi permasalahan kompetensi dan profesionalis guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dari itu pemakalah akan membahas tentang kompetensi dan professional guru, khususnya guru agama dilembaga-lembaga pendidikan islam dan umum. Diharapkan setelah kita membahas hal di atas, kita mampu menjadikan diri kita sebagai calon tenaga pendidik yang berkompetensi dan profesional, serta menjadi guru yang berkompetensi dalam bidangnya masing-masing. 

BAB II PEMBAHASAN 

A. Pengertian Kompetensi dan Profesionalisme
          MenurutKamus Umum Bahasa Indonesia ( WJS.Purwadarminta ) kompetensi berarti ( kewenangan ) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Pengertian dasar kompetensi adalah ( competenty ) yakni kemampuan atau kecakapan. Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung-jawab dan layak. Istilah kompetensi sebenarnya memiliki banyak makna sebagaimana yang dikemukakan berikut : 
1. Broke and Stone (1975), ia mengemukakan bahwa kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari prilaku guru yang tampak sangat berarti. 
2. Charles E.Johnson (1974), ia mengemukakan kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. 
3. Mc. Leod (1989), ia mengatakan kompetensi adalah keadaan berwewenang atau memenuhi syarat untuk menuntut ketentuan hukum. 

            Dengan gambaran beberapa pendapat dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan wewenang guru dalam melaksanakan “profesi” keguruannya. Selanjutnya beralih pada istilah “profesional” yang berarti suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerja professional berbeda dengan pekerja lainnya, karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. 

B. Pengembangan Kompetensi dan Profesionalisme Guru Agama Cakupan pengembangan profesi guru mencakup empat bidang, yaitu: 
1. Kompetensi pedagogik 
2. kompetensi kepribadian 
3. kompetensi sosial 
4. kompetensi profesional. 

        Keempat kemampuan itu menjadi tolak ukur profesionalisme guru, dan apabila salah satu komponen atau sub-komponen kurang/tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan, maka perlu dilakukan pengembangan profesi. 
          Kompetensi Pedagogik, mencakup: 
1. menguasai karakteristik peserta didik dan aspekfisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, danintelektual. 
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 
3. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. 
4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. 
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. 
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. 
7. Berkomunikasi secara efektif, emperik, dan santun dengan peserta didik. 
8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi, proses dan hasil belajar. 9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 
10. Melakukan tindakan reflektif untuk kepentingan kualitas pembelajaran 
       
          Kompetensi Kepribadian 
1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. 
2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. 
3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. 
4. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. 
5. Menjunjung tinggi profesi guru. 
              Kompetensi Sosial, mencakup: 
1. Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskrimintif, karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status ekonomi, 
2. Bekomunikasi secara efektif empati, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. 
3. Beradaptasi di tempat tugas di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki keragaman social budaya. 4. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri, dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. 
                 Kompetensi Profesional 
1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola piker keilmuan, yang mendukung mata pelajaran yang diampu. 
2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu. 
3. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. 
4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, termasuk di dalamnya melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk peningkatan keprofesionalan (termasuk guru mata pelajaran). PTK lebih bermanfaat untuk meningkatkan profesi guru dan waktu pelaksanaannya relative cepat disbanding dengan penelitian konvensional. 
5. Memanfaatkan teknologi informasi untuk mengembangkan diri. 

C. Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme Guru 
       Kompetensi Guru merupakan salah satu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. Jabatan fungsional guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.       
            Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah: kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi. peningkatan kinerja (performance) dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreatifitasnya. Pola dan gaya masyarakat saat ini, hampir telah mempercayakan sepenuhnya sebagian tugasnya kepada guru.
            Sehingga tugas guru yang diemban dari limpahan tugas masyarakat tersebut antara lain adalah mentransfer kebudayaan dalam arti luas, keterampilan menjalani kehidupan (life skills), dan nilai-nilai serta belief. Selain itu, guru secara mendalam harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan, dan mengklasifikasi. Tugasnya sebagai pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap, tetapi mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa siap menghadapi the real life dan bahkan mampu memberikan teladan yang baik. Selain itu, dituntut mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dan berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu (scientific curiosity). Selebihnya guru juga harus bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom.
           Peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani (civil society). Lebih jauh lagi akibat adanya sinergi dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure serta tuntutan atau demand terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya. Sebagaimana profesi-profesi lain, guru adalah profesi yang kompetitif. Oleh karena itu guru harus siap untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. 

BAB III PENUTUP
 A. Kesimpulan. • Untuk menjadi guru agama yang berkompetensi harulah melalui jenjang pendidikan, begitu pula menjadi guru yang profesional. • Semangkin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka semangkin tinggi pulalah keprofesionalannya dalam melakukan proses pembelajaran baik disekolah maupun diluar sekolah. • Menjadi guru yang profesional bukanlah hal yang sembarangan, akan tetapi butuh banyak yang harus dilakukan untuk menggapainya. • Kompetensi dan profesional yang baik bagi guru agama di lembaga-lembaga pendidikan islam dan umum akan berhasil melakukan transformasi ilmu jika dilakukan dengan profesional pula. B. Kritik dan saran. Dari tulisan diatas, tentunya kami menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna. Maka dari itu diharapkan kritik dan saran demi pembangunan dan perbaikan makalah ini dimasa mendatang.

 DAFTAR PUSTAKA 
  Samana, A. Profesionalisme Keguruan, Knisius, Yogyakarta 1994  Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, PT.remaja Rosdakarya, Bandung : 2010  http://nurmanspd.wordpress.com/2009/09/08/pengembangan-profesionalisme-guru/  http://www.uin-malang.ac.id/

Anarkisme Epistimologi

BAB I PENDAHULUAN Seperti yang kita ketahui definisi filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Pada makalah ini, kami akan berusaha menyajikan sebuah tulisan yang berisi pemikiran dari seorang tokoh filsafat yang terkenal dengan “Anarkisme Epistimologi”nya yaitu Paul Karl Feyerebend. Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 belajar seni suara, teater, dan sejarah teater pada Institute for Production of Theater, The Methodological Reform The German Theater di Weimar. Memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan kemudian mengajar di California University. Tahun 1953 menjadi pengajar di Bristol dan tahun-tahun berikutnya mengajar estetika, sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat di Austria, Jerman, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Tahun 1958. menjadi guru besar di Universitas California di Berkeley hingga wafat pada tahun 1994. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Paul Karl Feyerebend Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 belajar seni suara, teater, dan sejarah teater pada Institute for Production of Theater, The Methodological Reform The German Theater di Weimar. Memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan kemudian mengajar di California University. Tahun 1953 menjadi pengajar di Bristol dan tahun-tahun berikutnya mengajar estetika, sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat di Austria, Jerman, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Tahun 1958 menjadi guru besar di Universitas California di Berkeley hingga wafat pada tahun 1994. Awalnya ia banyak dikenal sebagai seorang rasionalis. Ia percaya terhadap keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum universal, berlaku dalam segala tindakan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keyakinan rasionalitas tersebut tampak dari kiprahnya pada masa itu dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoritis (A Club for Salvation of Theoritical Physics). Keanggotaannya dalam kelompok tersebut melibatkannya dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu fisika. Dari sana ia melihat hubungan yang sesungguhnya antara eksperimen dan teori, dimana relasi itu tidak sesederhana apa yang dibayangkan dan dijelaskan. Ia kemudian menyatakan diri sebagai seorang “anarkis” yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan penggantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan. Gagasan tentang “apa saja boleh” dan sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan adalah sebuah bentuk pengembangbiakan teori-teori. Terjadinya perubahan pemikiran Paul Karl Feyerabend setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor penting. Yaitu karena adanya perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum yang telah menolak beberapa patokan dasar fisika dengan prinsip-prinsip positivisme yang ketika itu dianggap modern (Newtonian). Selain itu juga sambutan dari para fisikawan/ filsuf terhadap teori mekanika kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos sangat mempengaruhi pemikiran filsafatnya. Dalam bunga rampainya, salah satu tulisan yang berjudul “How to Defend Society Against Science” Feyerabend menegaskan motivasi utamanya untuk membebaskan atau setidaknya meminimalisir ideologi dalam berpengetahuan. Menurutnya ideologi harus dalam perspektif karena terkadang ia memiliki muatan dan kepentingan tertentu sehingga adakalanya ideologi harus diposisikan dan dibaca seperti cerita-cerita dongeng atau kebohongan (fairytales). Ilmu pengetahuan merupakan pilar utama yang berupaya mengembangkan kebebasan intelektual sesesorang dari pemikiran yang terlampau kaku dan kuno. Namun menjadi konyol ketika salah satu diantara produk ilmu pengetahuan tersebut menjadi kebenaran mutlak dan tunggal yang mengeliminasi produk-produk pemikiran lain yang tidak berkuasa atau diyakini pada umumnya (mainstream). Pada akhirnya Feyerabend berkesimpulan bahwa setiap ideologi yang berkuasa dan kemudian mempengaruhi “kebenaran” pada satu masyarakat atau komunitas tertentu tanpa check dan balances adalah sebuah tiran yang harus digulingkan. Puncak pemikiran Paul Karl Feyerabend tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970, sebuah karya panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi menjadi sebuah buku dengan judul yang sama. Terbitnya buku tersebut meraih antusiasme publik dengan adanya berbagai kontroversi, diskusi dan kritik dari para tokoh filsafat dan para ilmuan secara luas. Di dalamnya banyak dijelaskan bahwa antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik. Dijelaskan juga bahwa para ilmuan tidak bisa melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil eksperimen, teknik-teknik matematis, parasangka-prasangka epistemologis dan sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya. Selain itu, dalam Against Method diungkapkan juga upaya membuka berbagai model alternatif demi pembaharuan suatu ilmu. B. Pengertian Anarkisme Epistimologi Anarkisme Epistimologi adalah teori epistemologis yang dikemukakan oleh filsuf Austria Paul Feyerabend ilmu yang menyatakan bahwa tidak ada aturan metodologis berguna dan pengecualian bebas mengatur kemajuan ilmu pengetahuan atau perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berpendapat bahwa gagasan bahwa ilmu pengetahuan dapat atau harus beroperasi menurut aturan universal dan tetap tidak realistis, merusak dan merugikan ilmu pengetahuan itu sendiri. Anarkisme adalah ajaran yang menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Negara dalam pendapat ini adalah musuh terbesar manusia, sehingga jika di singkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme memimpikan kehidupan yang bersahaja dengan menekuni kegiatan sederhana dan mengisinya dengan kesenangan yang wajar. Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai “anarchy epistemological” (kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang dapat diamati. Term anarkisme dalam hal ini adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Jika anarkisme politis anti terhadap kemapaan (kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), maka anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut. Dalam wilayah epistemologi, anarkisme berusaha mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Hal itu dilakukan untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme tersebut terkadang diartikan sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena tidak adanya ukuran atau aturan yang pasti untuk menentukan antara yang ilmiah dan non ilmiah. Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme. Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian dengan halnya dengan anarkisme epistemologis. Dalam perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan usaha yang anarkistik mutlak. Sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta tersebut, akan tetapi juga berisi ide-ide, interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari kesalahan interpretasi, interpretasi yang bertentangan dan sebagainya. Sementara pada umumnya para ilmuan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuah hanya dari dimensi ide, sehingga wajar jika sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan seperti pemikiran dari para penemunya. BAB III PENUTUP • Kesimpulan  • • Kesimpulan a) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan dalam Belajar Faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam belajar ada 2 macam, yaitu :  Faktor Intern Belajar  Kematangan,  Kecerdasan,  Motivasi dan  Minat  Faktor Ekstern  Lingkungan  Guru  Sarana dan Prasarana b) Cara untuk mengatasi kesulitan dalam belajar :  Observasi Kelas  Pemeriksaan Alat Indera  Teknik Main Peran  Tes Diagnostik Kecakapan/Tes IQ/Psikotes  Menyusun Program Perbaikan DAFTAR PUSTAKA • http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=3964 • http://pgribanjarsari.wordpress.com/2010/01/10/52/ • http://pejuangcinta-ganis.blogspot.com/2010/06/faktor-yang-mempengaruhi-kesulitan.html