Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan.
Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium.
Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya.
Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim !
Orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramah an dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.
Bagaimana bila kondisinya darurat ?
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum.
Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilaku
Sebelum kami mengutip dan mengumpulkan makalah-makalah yang kami anggap penting untuk diketahui yang ditulis oleh para ulama pakar diantara- nya banyak tercantum juga di internet/website mengenai dalil berjabatan tangan antara bukan muhrim ingin memberitahukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya.
Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat tertentu,umpamanya:
Pertama: Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnahmeskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan muhrimnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram jika kedua syarat itu tidak terpenuhi!
Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis !
Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang memboleh- kannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya mengamalkan pemboleh- annya saja tetapi mengabaikan syarat-syaratnya !
Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil atau hukum yang ber- kaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama baik zaman dahulu maupun sekarang tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama pakar ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya.
Tujuan kami untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. Walaupun kita berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.
Pertama-tama kami ingin mengutip dan mengumpulkan dari internet/ website dan dari sumber lainnya dibawah ini dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, kemudian dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat, serta jawaban atau tanggapannya yang cukup baik dan ditulis oleh Abu Salma (kami ringkas dan rapikan yang perlu diutarakan—pengutip). Insya Allah dengan adanya kutipan ini kita bisa menilai sendiri mana yang mendekati kebenaran. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin
Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:
Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).
Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidak- lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 32).
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’”. (QS. An-Nur : 30).
Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’” (QS. An-Nur : 31).
Manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran : 14).
Allah ta’ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ : 32).
Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita mu’minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).
Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta’ala memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20).
***Kalau Allah swt. memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu!*** Renungkanlah !
Dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:
Dari Ma’qil bin Yasar ra. berkata : Rasulallah saw. bersabda: “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan muhrim) baginya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 20/174/386).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya.” (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152)
Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai’at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘“Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai’at. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba’iat kalian.’ “ [HR Bukhori: 4891]
Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).
Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.
Aisyah ra. berkata:
“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw. tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).
Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu ‘anha: Bersabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)
Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” .
Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan keboleh annya/ kemubahannya.
Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
Madzhab Hanafi :
Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu
ash-Shana`i']
Madzhab Maliki:
Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak
memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab Syafi’i :
Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.
Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
Madzhab Hanbali:
Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:
Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan).
Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.