BAB I
PENDAHULUAN
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, umat Islam berusaha menegakkan sunah dalam keputusan-keputusan hukum dan aqidah. Akibat munculnya sutuasi baru sebagai dampak ekspansi wilayah Islam, maka muncul pula kebutuhan akan keputusan-keputusan terhadap hal-hal yang belum ada ketentuan sunah atasnya dan perlunya bimbingan ke arah masa depan. Kondisi ini melatarbelakangi timbulnya beberapa permasalahan baru yang melahirkan cara pandang dan pendapat yang berbeda-beda. Satu diantara permasalahan tersebut adalah perihal status orang mukmin yang berdosa besar. Khawarij dalam permasalahan ini menetapkan bahwa pelaku dosa besar secara mutlak terlepas dari status sebagai mukmin, sedangkan Murji'ah menyerahkan permasalahan ini kepada kebijaksanaan Allah SWT. untuk diputuskan pada hari akhir. Selain itu permasalahan pertanggungjawaban dosa ini mendorong timbulnya aliran Qodariyah yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan absolut. Manusia merupakan pencipta atas perbuatannya dan sepenuhnya akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran Qodariyah
A. Pengertian Qodariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
B. Sejarah Qodariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
C. Ajaran-ajaran Qodariyah
• Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
a. QS al-Kahfi: 29
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS. Ar-Ra’d ayat 11
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.”
• Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Kaum Qodariyah banyak menggunakan takwil. Faham seperti ini juga di kemudian hari dikembangkan oleh Muktazilah. Karena lebih banyak berorientasi pada rasio, maka Qodariyah cenderung tidak banyak menggunakan hadits.
• Mengingkari eksistensi sifat Tuhan dengan tujuan agar kemahaesaan Tuhan tetap terpelihara secara murni.
• Di dalam bidang politik, para penganut aliran Qodariyah memandang bahwa jabatan khalifah boleh saja dipegang oleh orang-orang di luar suku quraisy dan kekhalifahannya sah menurut syariat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah.
• Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
• Qadariyah berpendapat bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Hal ini didasarkan dengan dalil :
a. QS al-Kahfi: 29
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS. Ar-Ra’d ayat 11
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.”
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2008
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986
http://ahmad-mubarak.blogspot.com/2008/09/ilmu-kalam.html
1 komentar:
saya sangat tertarik membaca artikel anda.
kalo' bisa di perbaiki dan di jabarkan lebih luas lagi...ok..!!!
Posting Komentar